Saturday, January 9, 2010

Jenang Suran/ Bubur Suran

dari beras nasi diberi warna-warni. Sekarang sudah jarang sekali. Merupakan ungkapan rasa sukur atas pergantian tahun.

Sendang Salirang

ada yang mengatakan sendang salira. Salira berarti badan, membersihkan badan. Jaman dahulu sendang salirang digunakan untuk keluarga raja, kemudian para abdi dalem, akhirnya untuk rakyat biasa.

Selirang bisa diartikan pasangan sisir pisang bagian atas dan bawah (satu sisir hanya bagian atas atau bawah saja, setangkep adalah pasangan kanan kiri)

Atau dapat diartikan Sendang Selira (badan), untuk memandikan/ membersihkan badan (bersuci). Pada waktu itu selain untuk mandi & cuci, juga utk mengambil air wudhu (mandi dulu, baru masuk masjid).

Nyewu dino

akhir proses peringatan meninggalnya salah satu keluarga, tanah sudah mapan, dengan pemasangan nisan (kijing) pada makam almarhum. Kijing adalah tetenger penghormatan makam leluhur. Kebiasaan nenek moyang yang dikemas sebagai budaya. Untuk mengingat keteladanan & keberadaan pendahulunya. Ilmu budi pekerti berkembang berawal keteladanan nenek moyang.

Mendak Pisan/ Nyetahun

peringatan/ selamatan satu tahu meninggal salah satu kerabat/ keluarga.

Nyatus Dino

dengan sedekah bancakan untuk tetangga kiri-kanan dg terlebih dahulu didoakan, berkembang dari Hindu ke Islam dengan membaca yasin/ tadarus Al Qur’an sampai sekarang masih berlangsung.

Patang puluh dino

sedekah peringatan 40 hari meninggal berupa bancakan

Mitoni

selamatan tujuh bulan kehamilan

Selapanan

selamatan 35 hari mengandung.

Kroncong, musik

berkembang eksis lama di Kotagede. Sebagai perkawinan antara budaya Betawi (tanjidor), Portugis, Hawai, dikembangkan di Jawa menjadi musik Kroncong.

Srandul

kesenian teater tradisi semacam ketoprak namun berskala kecil. Dimainkan oleh beberapa orang saja dengan menggunakan 6-7 instrumen musik gamelan. Kesenian ini merupakan teater berjalan/ teater keliling. Tema cerita dari kesenian Srandul adalah legenda kehidupan kerajaan dan bangsawan, berikut romantika percintaan dan intrik-intrik perebutan kekuasaan. Sebagai area bekas peninggalan kerajaan Mataram Islam adalah wajar apabila tema-tema seperti ini merupakan idola masyarakat. Kesederhanaan dari kesenian ini dilatar belakangi oleh keterbatasan kemampuan keuangan masyarakat yang ingin melakukan kegiatan kreatif

Wayang Thinglung

pergelaran wayang kulit sederhana, dimana iringan musik dan penyanyinya diperagakan oleh satu orang, baik sebagai dalang yang memeragakan adegan cerita wayang, sekaligus mengiringi iringan musik gamelan dengan suara mulut maupun memerankan diri sebagai sinden/niyaga (penyanyi). Awalnya wayang yang digunakan berbahan dari kertas karton, tetapi sekarang ada yang memakai wayang kulit. Tokoh-tokoh ceritanya memakai tokoh-tokoh pada kisah wayang kulit purwa. Dalang wayang thinglung dituntut memiliki keahlian ganda, yaitu keahlian memerankan tokoh wayang dan keahlian menirukan bunyi gamelan pengiring pertunjukan. Pertunjukan wayang ini cukup unik, kadang-kadang bagi orang awam yang belum pernah melihat sebelumnya, melihat dalang yang memainkannya memberi sebutan kelakar seperti orang gila. Kesenian wayang Tinglung dilatar belakangi oleh keterbatasan kemampuan keuangan masyarakat yang ingin menanggap kesenian wayang dengan biaya murah untuk mengisi acara hajatan baik mantu, supitan maupun hajatan syukuran lainnya

Siteran

kesenian musik lagu Jawa, menggunakan alat musik tunggal bersenar bernama siter dimainkan oleh satu orang yang sekaligus berperan sebagai penyanyi. Kadang-kadang pemain siter didampingi oleh seorang sinden (penyanyi putri). Dalam perkembangannya kesenian siter ini dilengkapi dengan alat musik yang lain seperti gender, rebab, dan gong membentuk grup karawitan kecil bernama cokekan. Volume perangkat musik cokekan sekitar seperempat pangkon (seperempat gamelan) bahkan ada yang hanya beberapa bagian saja dari komponen gamelan yang bisa mewakili irama gamelan. Cokekan dimainkan oleh sekitar 4 – 5 orang yang dinyanyikan oleh seorang sinden atau lebih

Selawatan

didendangkan oleh abdi Dalem Mataram secara turun temurun melalui seniman-seniman abdi Dalem Parentah Yogya dan Solo. Salawatan tersebut kemudian dimainkan oleh satu dalang abdi dalem s/d sekitar 1950 karena dalangnya meninggal kesenian ini punah. Sekitar tahun 1980 kes salawatan di munculkan (dipaketkan) lagi oleh grup bernama ”Paguyuban Salawatan Ngako-et Kawula Mataram”, mengadobsi, mendatangi seniman-seniman dulu yang masih bisa diajak bicara, menelusur alatnya apa, dan berlatih sampai sekarang. Saat ini salawatan berkembang di Kotagede, ada kelompok selawatan dari kaum perempuan di kampung Bumen Kelurahan Purbayan Kec Kotagede. Salawatan adalah membacakan pelajaran tentang Islam (keimanan) dengan bertembang/ bernyanyi bahasa Jawa, untuk memudahkan masyarakat menerima pelajaran memaknai arti hidup menurut ajaran Islam melalui bahasa Jawa.

Ketoprak

teater tradisional bertemakan cerita seputar babad/ sejarah dan kehidupan Kraton/Kerajaan, raja, bangsawan dan intrik-intriknya serta romantika kehidupan dan legendanya, melibatkan banyak pemain lebih dari 20 orang tergantung ceritanya dan melibatkan banyak waranggana, diiringi oleh sekitar 24 s/d 26 instrument musik gamelan lengkap slendro-pelog, lengkap dengan dekorasi panggung yang natural.

Di Kotagede ketoprak biasanya diselenggarakan oleh Demang yang karena jabatan kekuasaannya mempunyai tingkat ekonomi yang cukup sehingga mampu membiayai penyelenggaraan ketoprak. Sebagai kawasan bekas kerajaan Mataram masyarakat mempunyai apresiasi dan kebanggaan terhadap tokoh-tokoh pendirinya sehingga wajar apabila kesenian teater yang tumbuh disana bertemakan seputar kehidupan kerajaan.

Pada awalnya cerita Ketoprak lebih banyak menyangkut seputar kehidupan Kraton maupun kaum bangsawan disertai intrik, konflik, percintaan, affair dan legenda kehidupannya. Dalam perjalanannya Ketoprak menceritakan juga tentang legenda kerakyatan. Ketoprak Mataram merupakan salah satu perkumpulan ketoprak pimpinan Ki Tjokrodjio yang disiarkan RRI Studio Yogyakarta secara tetap-berkala sekitar tahun 1960-1968-an.

Ketoprak Tobong berkembang di pedesaan, dikenal karena bangunannya menggunakan yang menggunakan bahan dan konstruksi sederhana. Tobong adalah bangunan kerakyatan non permanen dengan bentang sedang sampai besar, untuk fungsi yang bersifat masal; bahan kerangka, dinding dan atap bangunannya terbuat dari bahan local sederhana (bambu, gedeg, batu bata, ijuk/genteng vlam), dengan system struktur dan ikatan buhul sederhana (ikatan tali ijuk, pasak bamboo). Fungsi Tobong disamping untuk sarana pentas ketoprak juga mempunyai fungsi lain seperti: tempat pembakaran /penyimpanan bata maupun genteng tanah liat, serta penyimpanan dan pengeringan tembakau dll.

Cokekan

kesenian musik gamelan/karawitan dalam skala kecil dengan alat musik gender, rebab, dan gong. Jumlah perangkat musik cokekan sekitar seperempat pangkon (seperempat gamelan) bahkan ada yang hanya beberapa bagian saja dari komponen gamelan yang bisa mewakili irama gamelan. Cokekan dimainkan oleh sekitar 4 – 5 orang yang dinyanyikan oleh seorang sinden atau lebih. Kesenian cokekan dilatar belakangi oleh keterbatasan kemampuan keuangan masyarakat yang menginginkan kesenian musik karawitan (gamelan) dengan biaya murah untuk mengisi acara hajatan baik mantu, supitan maupun hajatan syukuran lainnya.

Ambengan Ageng Kotagede, (Kirab Seni Budaya Ambengan Ageng Kotagede)

dengan promosi wisata kuliner khas Kotagede, dalam bentuk dua gunungan simbol laki-laki dan perempuan (tdk ada namanya), sebagai simbol manusia/alam diciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, dalam ekonomi ada penjual dan pembeli, hidup dan mati, Kirab Seni Budaya Ambengan Ageng. Gunungan merupakan khas kraton.

Gunungan Ageng, Gunungan Garebeg dlsb diselenggarakan oleh keluarga kerajaan dan rajanya masih ada. Pada peninggalan situs kerajaan Mataram seperti Kotagede, raja-rajanya sudah tidak ada, hanya sisa abdi dalem dan masyarakatnya yang masih hidup, masyarakat merasa tidak pantas dengan menggunakan bahasa Gunungan. Gunungan memvisual-kan seorang raja membagikan sedekah pada rakyatnya. Di situs Kotagede berhubung rajanya sudah tidak ada masyarakat membuat sebuah/ sepasang ambengan sebagai wujud dari hasil bumi dan hasil kuliner yang dibuat semacam gunungan dan dikirabkan.

Gunungan tersebut isinya hasil bumi dan budaya kuliner masyarakat yang dinikmati bersama-sama. Kirab seni budaya yang berkembang di masyarakat dengan semua berpakaian tradisional Jawa, visual/ replika prajurit Kraton tempo dulu yang diperagakan oleh masyarakat. Proses ini selalu disempurnakan. Prosesi kirab budaya merupakan murni dalam upaya menggali seni dan budaya saja, tidak ada kaitannya dengan melanggar larangan agama, apakah berbau sirik, berbau musrik, adalah tidak sama sekali.

Ambengan Ageng (berujud bunga?) dibawa masyarakat dengan dikawal oleh abdi dalem Surakarti Hadiningrat dan Ngayogyakarto Hadiningrat, sebagai visualisasi manunggalnya Kerajaan Kraton dengan masyarakat serta manunggalnya Ulama dan Umaro. Dengan memperagakan sebagai prajurit Kraton menunjukkan masyarakat Kotagede sedang mencari proses jati dirinya, prajurit Kotagede itu seperti apa? Pertama kali diungkapkan dengan kegiatan menarik untuk menumbuhkan rasa rindu masyarakat dengan budayanya sendiri yang sudah sekian ratus hilang, serta sebagai penghargaan pada budaya Kraton.

Acara ini dibantu oleh pak Lurah Sigit dari Imogiri dengan bergodo perjurit dari Giri Tamtomo.

Dihalaman Masjid diadakan acara serah terima ambengan disampaikan ke pengageng Kraton yang bertugas di situs Kotagede (sebagai juru kunci makam), salah satunya dari Kraton Yogya: Kanjeng Raden Tumenggung Hastana Nagoro, kemudian dari beliau diberikan kepada pak Saleh (lurah Jagalan/ luarahnya masyarakat), kemudian oleh pak Lurah diserahkan pada Rois Penghulu Masjid Mataram, kemudian berdoa (dipimpin Rois), kemudian dimakan bersama. Selain kirab ambengan juga diiringi dengan ’Jodhang’ (rumah kecil) terdiri dari Jodhang Kraton Sala dan Jodhang Kraton Ngayogyakarta.

Jodhang (rumah kecil) kemudian dibawa Pengageng Kraton Yogyadan Sala bersama iring-iringan masuk kedalam halaman Masjid, melalui prosesi upacara Jodhang tersebut diberikan Pengageng Kraton kepada Abdi Dalem Yogya dan Sala, sebagai simbol suatu perintah pengageng Kraton kepada Abdi Dalemnya: ’Hai Abdi Dalem, iki ana Jodhang (tempat/wadah kosong tidak ada isinya). Di serambi Masjid Jodhang tersebut dimasuki siwur, dengan membaca salawat pra abdi Dalem berjalan ke sendang.

Jodhang juga merupakan miniatur masjid Mataram yang diberi logo Solo dan Yogya. Karena Kerajaan Mataram merupakan cikal bakal Yogya dan Solo, maka jumlah Jodhang ada dua buah, yang satu merupakan miniatur masjid Agung Mataram Kuno Kotagede dan lainnya merupakan miniatur masjid Agung Kraton Solo.

Ada 2 buah jodhang dan 3 siwur. Siwur hanyal simbol contoh alat mengambil air. Dari pengageng Abdi Dalem diberikan pada Lurah (Jagalan/ lurah masyarakat sekarang), kmd dari lurah diserahkan kepada Pengageng Yayasan Masjid Besar Mataram, siwur diberikan sebagai tanda untuk memulai nawu Jagang. Yang ini (satu?) masuk ke masjid & yang dua masuk ke Sendang Selirang. Iring-iringan berjalan ke Sendang dengan membaca salawat. Sampai di sendang, Abdi Dalem mengambil contoh (mengambil air secara simbolik) air sendang dan dimasukkan kedalam kendi.

Kendi (dari tanah liat) dibawa oleh Abdi Dalem dan siwur dimasukkan kedalam Jodhang yang masih dipikul. Abdi Dalem berjalan kembali untuk melaporkan pada Pengagengnya (komandannya) ”kawuningan bapak/ romo/ kanjeng bukti kalau air dalam kendi ini sudah diambil dari sendang kakung dan sendang putri”. Air yang didalam kendi tersebut tidak untuk jimat tetapi langsung dibuang. Kemudian mereka istirahat (setelah jam 09.00 s/d 11.00 melakukan prosesi), kemudian istirahat 1 jam, makan snack dan minum dan solat dhuhur (bagi yg tidak sholat diberi kesempatan istirahat), sementara ratusan masyarakat (bapak-2, kaum muda s/d anak-anak) menunggu di sendang kakung dan putri.

Begitu sholat selesai dibunyikan sempritan sebagai tanda prosesi pengurasan dimulai. Dengan serentak masyarakat masuk kedalam kolam untuk membersihkan kolam bersama-sama. Malam harinya diadakan syukuran, ada laporan kegiatan dari panitia pada donatur, pada pengageng dua-duanya (Yk-Sl). Malam harinya dilakukan pentas wayang. (pengageng Kraton yang bertugas sbg juru kunci).