Sunday, June 13, 2010

Dhadhungawuk, Seni Pertunjukan

Seorang tokoh raksasa dari bala-tentara Batari Durga yang tinggal di hutan Krendhayana. Suatu ketika, ia diberi tugas untuk mengembalikan Sudanu (kerbau) yang berjumlah
40 ekor. Seluruhnya berwarna hitam dengan kaki berwarna putih. Dhadung Awuk pernah menolak Sang Bima saat akan meminjam kerbau tersebut, namun setelah terjadi perkelahian dan Dhadhungawuk dapat dikalahkan oleh Sang Bima. Ia menyerahkan kerbau-kerbau tersebut, bahkan ia sendirilah yang menjadi pawangnya.

Setelah terlebih dahulu meminta ijin kepada Batari Durga. Dhadhungawuk merupakan salah
satu tokoh dalam kesenian Srandhul.

Di Kotagede seni ini pernah menjadi kegemaran masyarakat, tetapi kini sudah tidak pernah dipentaskan lagi.

Demang

Disebut juga sebagai Kiyai Lurah, yaitu aparat pemerintah di tingkat desa yang diberi tanggung jawab sebagai pejabat pemerintahan atau kerabat raja dan diberi gaji berupa hakk mengelola tanah lungguh.

Delabo

Singkatan dari Pandeyan, Dolahan, dan Boharen. Delabo adalah nama kelompok kesenian macapat dari Kotagede yang merupakan gabungan dari ketiga kampung tersebut.

Danalaya, Taman

Taman yang dibangun sebagai kelengkapan Keraton Mataram oleh Panembahan Seda ing Krapyak. Meskipun secara fisik tidak dapat dijumpai lagi, namun beberapa sumber menyebutkan bahwa di Kotagede terdapat taman kerajaan yang disebut dengan Taman Danalaya.

Taman Danalaya dibangun oleh Panembahan Seda ing Krapyak pada tahun Dal 1527 Jawa (1605M). Pembangunan taman kerajaan sebagai kelengkapan sebuah keratonbukan hanya ada di Kotagede, beberapa kerajaan sebelumnya, seperti Majapahit dan Demak menurut
para ahli juga dilengkapi dengan taman kerajaan.

Taman Danalaya berlokasi di sebelah selatan Kotagede ketika menjadi ibukota Keraton Mataram.

Danalaya, Kampung

Merupakan nama sebuah kampung yang letaknya di sisi selatan dari Kotagede. Sebelum berkembang menjadi kampung seperti adanya sekarang, Danalaya pada walnya dahulu merupakan sebuah taman rekreasi raja (lihat: Danalaya, Taman).

Dalem, Kampung

Pada awalnya dahulu merupakan tempat tinggal bagi golongan bangsawan dan elit politik. Oleh karena itu letak dalem biasanya dekat dengan keraton. Pada saat ini daerah dalem merupakan Kompleks Pasareyan Hastarengga, yakni kompleks makam para bangsawan dari masa berikutnya setelah palihan negari, yakni para keturunan/ sentana raja Sultan HB-VIII dari Kasultanan Yogyakarta.

Bahwa Kampung Dalem berada diarea Keraton ditunjukkan dari keberadaan properti utama raja diTempat tersebut, raja-raja Kasultanan Yogyakarta. Selain itu, di areal itu terdapat pula watu gilang,watu cantheng, lapik arca, dan sebuah tempayan batu (lihat entri: watu gilang, watu cantheng).

Dalem, Omah

Disebut juga omah jero atau griya ageng, merupakan bagian inti dari rumah Jawa yang menjadi tempat hunian keluarga. Posisi dalem dalam tata letak rumah Jawa berada
di belakang pendapa. Di dalam dalem terdapat ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang duduk keluarga, serta tiga senthong atau kamar di sisi belakang, yakni senthong kiwa, senthong tengah atau pasren atau patanen, dan senthong tengen (lihat juga entri senthong).

Chirzin, M. Habib

Seorang tokoh hak azasi manusia, dari Kotagede. Kegigihannya dalam meperjuangkan hak – hak azasi manusia, ditunjukkan dengan kedudukannya sebagai komisioner Komite Nasional Hak Azasi Manusia. Drs.M.Habib Chirzin, juga menjadi tokoh dalam kegiatan dialog keIslaman, dengan menduduki jabatan sebagai President, Islamic Millenium Forum
for Peace and Dialoque. Kedudukannya sebagai pejuang hak azasi manusia, semakin menambah peran tokoh-tokoh Kotagede yang berbicara di forum nasional maupun internasional

Saat ini Drs. M.Habib Chirzin bertempat tinggal di Jl. Kramat IV No 4 Jakarta Pusat.

Chirzin, Muhammad

Seorang tokoh Muhammadiyah Kotagede. Pada zamannya pernah menjabat sebagai sekretaris Masyumi di bawah kepemimpinan Haji Masyhudi. (Lihat: Masyhudi, Haji).

Muhammad Chirzin memberi pengaruh yang besar dalam pengembangan Islam di Kotagede dalam kedudukannya sebagai pimpinan takmir Mesjid Perak pada tahun 1958 selama sepuluh tahun.

Pada tahun 1949 Muhammad Chirzin menggiatkan pengajian menjelang berbuka puasa. Kemudian membentuk majelis lajnah dengan dukungan Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kotagede, bersama H. Ridha, dan Zuhri Hasyim, menyeragamkan doa-doa yang sebelumnya bermacam-macam, menjadi bacaan do’a yang sama untuk masyarakat muslim di Kotagede.

Monday, June 7, 2010

Cermo Supardi Mujihartono, Ki Dhalang

Adalah salah satu dhalang wayang thingklung dari Kotagede. Dia lebih akrab dipanggil Kang
Mujiran.

Pertama kali pentas pada sekitar tahun 1989, di saat peresmian pembangunan Kampung Karang-duren (Kotagede). Kang Mujiran mengaku bukan perintis wayang thingklung. Namun kepeduliannya untuk melestarikan wayang thingklung, menjadikannya tokoh pelestari
seni-budaya dari Kotagede.

Pada tahun 1960-an di Kampung Semoyan ia melihat pertunjukan wayang thingklung dan dhalangnya sudah tua, nama Ki Dhalang yang mementaskan sudah tidak dapat diingatnya lagi. Ketika itu, berawal dari hobinya mengoleksi wayang-wayang kulit tersebut, timbulah niatnya untuk mencoba dan belajar mendalami seluk beluk dunia pewayangan. Hobi
mengkoleksi wayang yang diperoleh dengan membeli di Pasar Legi Kotagede dari bahan kerdus (karton). Kini koleksi wayang kulitnya sudah komplit satu kothak, berkat ketekunannya menabung sedikit demi sedikit, hanya untuk mewujudkan impiannya memiliki
koleksi wayang yang lengkap.

Pengalaman pentas Ki Cermo Supardi Mujihartono, alias Kang Mujiran sudah cukup banyak, walaupun masih sebatas seputar kampungnya, antara lain di Karang-duren,
Mrican, Semoyan, Pondhongan, Ndalem, Alun-alun Kotagede, Sayangan, dan Pura Pakualaman.

Saat ini, Kang Mujiran hidup menetap di tempat kelahirannya, Kampung Karangduren
Kotagede.

Cepuri

Berupa benteng (tembok tinggi) yang mengelilingi kompleks keraton, namun wilayahnya lebih sempit dari baluwarti (lihat: Baluwarti). Bentuk bangunan cepuri secara umum berupa empat persegi panjang, cenderung tidak beraturan (tidak simetris).
Saat ini beberapa bagian sudah tidak utuh lagi namun masih dapat ditemukan bekas-bekas reruntuhannya.

Cepuri diperkirakan dibangun sebelum baluwarti, sebagai bangun-bangunan pelapis dalam
dari lingkungan Keraton Mataram.

Bahan bangunan yang digunakan untuk membangun Cepuri terdiri atas pasangan batu bata dengan ukuran 8 cm x 16 cm x 30 cm, dan dari bahan batu putih dengan ukuran antara 7 cm x 16 cm x 30 cm sampai dengan ukuran 12 cm x 22 cm x 43 cm. Keterangan ini didukung oleh tulisan dalam Babad Tanah Jawi, yang menye-butkan:

….. dipun angge banon abrit lan banon pethak
….. nunten dados kutha bacingah
….. kanthi sinengkalan 1507

(Olthof, 1941:108), yang artinya:

….. digunakan bata merah dan bata putih
…..selanjutnya menjadi benteng
…..dengan (petunjuk) tahun1507

….. (Olthof, 1941:108). Keberadaan bangunan cepuri dapat dilihat dari artefak berupa bekas
bekas bangunan benteng namun juga dapat diperoleh dari Babad Tanah Jawi, yang menyebutkan:

….. Kacariyos Kanjeng Sultan Pajang miyos sinewaka
….. Para Bupati sami matur: ”Putra Dalem Senapati ing Alaga, saestu mirong badhe mengsah
….. sampun damel beteng sarta lelaren wiyar”

(Olthof, 1941:80), yang artinya:
….. Suatu saat ketika Sultan Pajang sedang duduk di atas singgasana (dihadapan Bupati dan Abdi Dalem)
….. Para Bupati menyatakan (lapor): “Ananda (anak Sultan Pajang) Senapati ing Alaga, benar-benar akan melakukan pemberontakan
…..(Dia-Senapati Ing Alaga), telah membangun benteng yang dikelilingi oleh parit (jagang)
yang cukup lebar.

Dari tulisan tersebut, terlihat adanya pemahaman atas fungsi cepuri sebagai benteng pertahanan yang dikelilingi dengan jagang (lihat: Jagang) yang berupa parit yang lebar, sehingga dapat menghambat musuh untuk mendekati benteng.

Denah cepuri secara umum adalah persegi panjang yang membujur timur–barat, dan pada sudut tenggara melengkung sehingga oleh penduduk disebut dengan bokong semar (lihat: Bokong Semar). Luas seluruhnya sekitar 6,5 Ha dan sebagian besar temboknya masih tersisa. Sementara itu, di bagian tengah sisi utara terdapat struktur benteng yang oleh penduduk dipercaya pernah dijebol oleh Pangeran Rangga, putera Panembahan Senapati.
Struktur ini kemudian dikenal dengan “benteng jebolan Raden Rangga” (lihat: Benteng Jebolan Raden Rangga).

Fungsi utama bangunan ini adalah untuk melindungi bagian keraton, sehingga benteng ini juga disebut dengan tembok jero.

Berdasarkan sisa peninggalan dan analogi dengan tata letak bangunan di lingkungan keraton pada umumnya, cepuri juga memiliki beberapa komponen bangunan penting. Beberapa bangunan yang semula ada di dalam cepuri berdasarkan analogi tersebut antara lain adalah: Sitinggil (Sitihinggil), Mandhungan (Kamandhungan), Sri Manganti, Kedhaton, Prabayaksa (yang dilengkapi dengan beberapa bangsal seperti Bangsal Kencana, bangsal Kemuning, bangsal Manis, dan Gedong Kemuning).

Celenan, Jalan

Merupakan jalan kampung, dengan gerbang masuk dari Jalan Mondorakan dekat pegadaian
swasta ke arah selatan, menuju buk ndhekem (lihat: Buk Ndhekem) dan Karangduren. Jalan ini mempunyai nilai khusus, karena pada waktu yang lalu termasuk jalan dengan kualitas terbaik di wilayah sekitar itu, sehingga sering disebut sebagai dalan alus, karena kondisi jalannya yang mulus sampai saat ini.

Cao Mentah, Minuman

Jenis minuman khas Kotagede, tetapi kini sudah tidak dapat dijumpai lagi. Minuman dengan rasa segar ini dibuat dari bahan-bahan; cao, kolang-kaling, kelapa muda, air, dan sirup atau (dahulu menggunakan tetes tebu) sebagai pemanis. Hal ini berkaitan dengan kondisi pada masa dahulu di Kotagede pernah ada pabrik gula, sehingga mudah cara mendapatkan
tetes tebu tersebut.

Cara membuatnya: sirup dilarutkan dalam air dicampur kolang-kaling yang telah diiris kecil-kecil, degan (kelapa muda) yang di ambil (dikeruk) isi (daging) nya, kadangkala ditambah dengan nanas dan jeruk nipis.

Cara penyajiannya,dengan dituang ke dalam gelas dan diminum sebagai minuman
yang segar.

Sunday, June 6, 2010

Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin, Karya Penelitian

Judul buku yang ditulis oleh Mitsuo Nakamura, berupa penelitian tentang Kotagede. Buku ini juga diterbitkan dalam versi bahasa Inggris dengan judul The Crescent Arises over the Banyan Tree. Buku yang diterbitkan oleh Gajah Mada University Press-Yogyakarta tahun 1983 sebanyak 263 halaman, ditulis dalam enam bab, umumnya mengungkapkan tentang muncul dan berkembangnya Muhammadiyah di Kotagede, dilengkapi pula dengan peta pulau Jawa, Yogyakarta dan Kotagede. Selain itu, diagram yang menggambarkan hubungan
kekeluargaan dan perkawinan antara pendiri Muhammadiyah di Kotagede dicantumkan pula
dalam buku ini. Lampiran berupa Tanah Bangunan Kotagede (1922), pekerjaan, pendapatan,dan komposisi pekerjaan (1972) disajikan pada bagian akhir buku ini.

Mitsuo Nakamura menjelaskan pula bahwa Kotagede memiliki berbagai keuntungan untuk penelitian perkembangan Muhamadiyah setempat. Secara etnis Kotagede merupakan kota Jawa yang murni, terletak di jantung peradaban Jawa. Kotagede muncul dalam sejarah
pertama kali pada pertengahan kedua abad ke–16 sebagai lokasi awal Keraton Mataram yang belakangan, salah satu kerajaan Islam paling awal di pedalaman Jawa tengah bagian selatan.

Keraton Mataram saat itu juga mewujudkan sinkretisasi halus unsur-unsur asli, Hindu–Budha, dan agama Islam dalam kehidupan Keratonnya.

Kedudukan Keraton Mataram berpindah keluar dari Kotagede pada awal abad ke-17. Kerajaan itu sendiri kemudian dipecah-pecah dan dipotong menjadi empat kerajaan
(Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman) karena intrik internal berkepanjangan dan campur tangan Belanda selama dua abad berikutnya. Tetapi Kotagede
bertahan dari semua kekacauan ini. Tetap mempertahankan identitasnya sebagai pusat kota
Jawa yang khusus sampai saat ini, sebagian besar karena segi agama dan ekonominya.

Selanjutnya Nakamura menambahkan, perkembangan yang menuju pada berdirinya Muhammadiyah di Kotagede terjadi pada saat dan lingkungan ini. Muhammadiyah
di Kotagede sejak saat itu berkembang pesat sampai sekarang.

Prestasi Muhammadiyah yang paling menonjol dapat dilihat pada bidang pendidikan, umum, dan kesejahteraan sosial (1972). Muhammadiyah telah memprakarsai banyak perubahan di dalam kepercayaan dan praktik keagamaan di kalangan orang Kotagede.
Di samping prestasi lokal, Muhammadiyah Kotagede memberikan sejumlah sumbangan bagi kemajuan kepentingan Islam dalam tingkat regional dan bahkan nasional. Di banyak daerah kepulauan Indonesia sekolah-sekolah Muhammadiyah atau sekolah-sekolah
Islam lainnya memperoleh sejumlah guru yang berasal dari kalangan Muhammadiyah Kotagede.
Sejumlah besar orang yang ahli termasuk dokter, insinyur, sarjana hukum, profesor dan dosen banyak di antaranya berasal dari keluarga Muhammadiyah Kotagede.

Muhammadiyah cabang Kotagede adalah salah satu yang paling aktif dan berpengaruh di dalam organisasi yang pusatnya terletak di Yogyakarta, yang memberikan bantuan langsung pada saat yang diperlukan.

Mitsuo Nakamura menerangkan tentang judul bukunya, yang ber-hubungan dengan konsep abangan dan santri. Proses Islamisasi di Kotagede sekarang ini hendaknya tidak dipandang melulu sebagai masalah perubahan di dalam orientasi ideologis golongan tertentu masyarakat setempat, yakni dari tradisionalisme ke modernisme di dalam golongan santri, tetapi lebih berupa masalah yang ada hubungannya dengan pandangan agama
seluruh penduduk setempat: makin bertambah besar orang-orang didalam kategori abangan telah berpindah dan sedang berpindah kearah kategori santri, menjadi semakin
benar di dalam berpikir dan beramal sebagai orang Islam. Karena itu, judul asli buku ini, “The Crescent Arises over the Banyan Tree” artinya unsur-unsur santri yang digambarkan dengan bulan sabit semakin muncul dari unsur-unsur abangan yang digambarkan
dengan pohon beringin, sebuah simbol mistik. Judul ini dimaksudkan hanya sebagai ringkasan jelas proses sejarah setempat tanpa mempunyai implikasi politik yang
mungkin timbul di kalangan orang-orang tertentu.

Anduk, Gendhing

Gendhing sebagai pengiring Bedhaya Semang, yang diciptakan secara khusus oleh Sultan Agung, sebagai penghormatan kepada Panembahan Senapati, raja pendahulu di Keraton Mataram.

Bedhaya Semang merupakan jenis tarian yang mengkisahkan percintaan
antara Panembahan Senapati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Sehingga sebagai pengiring, Gendhing Anduk dimainkan sekali dalam setahun, pada saat jumenengan dalem (penobatan raja), atau wiyosan dalem (ulang tahun
raja).

Syair lagunya sarat berisi kata-kata cinta dan asmara, diawali dengan irama kendhangan Sekar Gadhung, dan selanjutnya diikuti dengan ditabuhnya gong, kenong, kemanak, dan ketipung.

AMM, Team Tadarus

Singkatan dari Team Tadarus Angkatan Muda Mesjid dan Mushalla.
AMM. Mempunyai misi membina dan mengembangkan Gerakan Dakwah Al Quran yang meliputi Membaca, Menulis dan Memahami Al Quran (M3A) bagi seluruh umat Islam dimanapun berada, dengan membawa misi inilah kegiatan-kegiatan Team Tadarus AMM dilaksanakan.

Yayasan Team Tadarus AMM beralamat di Kompleks TKA-TPA AMM Selakraman Kotagede
Yogyakarta.

Di samping itu tentu ada misi-misi khusus dari kegiatan yang dilaksanakan Gerakan Dakwah M3A, meliputi kegiatan rutin, seperti: pengelolaan TKA-TPA-TQA, kursus Tartil Al Quran, kursus bahasa Arab metode fasih, majelis ta’lim malam kamis, forum studi ‘Ulumul Quran’, penataran metodologi Iqra’ dan manajemen TKA-TPA-TQA, serta tempat studi banding para pengelola, ustadz dan santri TKA-TPA-TQA di seluruh Indonesia.

Melalui berbagai aktivitas keagamaan tersebut, menjadikannya berkembang menjadi forum rekreasi rohani (wisata religius).

Agung, Sultan

Merupakan Raja Besar Mataram yang terkenal akan ekspansi wilayah kekuasaan, sehingga mencapai beberapa wilayah diluar pulau Jawa.
Sultan Agung adalah salah satu putra Panembahan Senapati (lihat Senapati, Panembahan). Sultan Agung disebut demikian karena merupakan raja besar Mataram. Sultan Agung dengan nama lengkap Sultan Agung Anyakrakusuma menjadi Raja Mataram, ia adalah
cucu buyut Ki Ageng Giring (penguasa Gunung Kidul, lihat : Giring, Ki Ageng). Ki Ageng Giring, adalah sahabat Ki Ageng Mataram (lihat: Mataram, Ki Ageng).Putera Ki Ageng Mataram bernama Panembahan Senapati, memperisteri Rara Lembayung, puteri
dari Ki Ageng Giring. Dari pasangan suami istri inilah lahir anak, cucu Ki Ageng Giring, yang kelak naik tahta dan bergelar Sultan Agung Anyakrakusuma.

Pada masa kekuasaannya, Mataram mampu memperluas pengaruhnya dan mengalami puncak kejayaannya, meski mengalami kegagalan saat menyerbu Belanda di Batavia yang saat itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jaan Pieterszoon Coen.

Banyak prestasi yang dicapai oleh Sultan Agung. Dalam bidang politik dia menerapkan sentralitas kekuasaan dan mewajibkan para bupati-nayaka untuk tinggal di kutha-negara,
serta memodifikasi sistem birokrasi pemerintahan yang canggih dengan membagi-bagi lebih
lanjut wilayah negaragung.

Sultan Agung juga mengembangkan budaya agraris dengan menyusun pranata mangsa yang digunakan untuk memperhitungkan waktu tanam. Selain itu dia juga menetapkan sistem kalender Jawa yang meramu penanggalan Çaka lama dengan tahun Hijriyah dari
Arab. Untuk yang terakhir ini menunjukkan perhatiannya pada upaya memadukan agama Islam dengan budaya asli Jawa yang banyak dipertentangkan sebelumnya.

Terlepas dari kebesarannya, Sultan Agung lebih banyak menghabiskan waktunya di pesanggrahan Kerta, dan kemudian memindahkan pusat kekuasaannya dari Kotagede
ke Plered. Artinya, pada masa Sultan Agung eksistensi Kotagede mulai surut.
Namun, sekalipun Kotagede kehilangan peran sebagai pusat pemerintahan, Pasar Gede di Kotagede tetap menjadi pusat perdagangan yang penting, bahkan sampai sekarang. Di sisi lain, dia juga tetap memelihara spiritualitas Kotagede yang berpusat di kompleks Mesjid Mataram dan makam raja-raja di Kotagede, walaupun dia menyiapkan juga kompleks
makam baru di Imogiri.

Melalui berbagai prestasi di dalam mengembangkan kekuasaannya ni membuat Keraton Mataram, di bawah kepemimpinan Sultan Agung mencapai zaman keemasannya. Hal ini ditunjukkan dengan berkembangnya wilayah kekuasaan sampai ke luar Jawa, di antaranya
sampai ke wilayah Sumatera (Palembang).

Saturday, January 9, 2010

Jenang Suran/ Bubur Suran

dari beras nasi diberi warna-warni. Sekarang sudah jarang sekali. Merupakan ungkapan rasa sukur atas pergantian tahun.

Sendang Salirang

ada yang mengatakan sendang salira. Salira berarti badan, membersihkan badan. Jaman dahulu sendang salirang digunakan untuk keluarga raja, kemudian para abdi dalem, akhirnya untuk rakyat biasa.

Selirang bisa diartikan pasangan sisir pisang bagian atas dan bawah (satu sisir hanya bagian atas atau bawah saja, setangkep adalah pasangan kanan kiri)

Atau dapat diartikan Sendang Selira (badan), untuk memandikan/ membersihkan badan (bersuci). Pada waktu itu selain untuk mandi & cuci, juga utk mengambil air wudhu (mandi dulu, baru masuk masjid).

Nyewu dino

akhir proses peringatan meninggalnya salah satu keluarga, tanah sudah mapan, dengan pemasangan nisan (kijing) pada makam almarhum. Kijing adalah tetenger penghormatan makam leluhur. Kebiasaan nenek moyang yang dikemas sebagai budaya. Untuk mengingat keteladanan & keberadaan pendahulunya. Ilmu budi pekerti berkembang berawal keteladanan nenek moyang.

Mendak Pisan/ Nyetahun

peringatan/ selamatan satu tahu meninggal salah satu kerabat/ keluarga.

Nyatus Dino

dengan sedekah bancakan untuk tetangga kiri-kanan dg terlebih dahulu didoakan, berkembang dari Hindu ke Islam dengan membaca yasin/ tadarus Al Qur’an sampai sekarang masih berlangsung.

Patang puluh dino

sedekah peringatan 40 hari meninggal berupa bancakan

Mitoni

selamatan tujuh bulan kehamilan

Selapanan

selamatan 35 hari mengandung.

Kroncong, musik

berkembang eksis lama di Kotagede. Sebagai perkawinan antara budaya Betawi (tanjidor), Portugis, Hawai, dikembangkan di Jawa menjadi musik Kroncong.

Srandul

kesenian teater tradisi semacam ketoprak namun berskala kecil. Dimainkan oleh beberapa orang saja dengan menggunakan 6-7 instrumen musik gamelan. Kesenian ini merupakan teater berjalan/ teater keliling. Tema cerita dari kesenian Srandul adalah legenda kehidupan kerajaan dan bangsawan, berikut romantika percintaan dan intrik-intrik perebutan kekuasaan. Sebagai area bekas peninggalan kerajaan Mataram Islam adalah wajar apabila tema-tema seperti ini merupakan idola masyarakat. Kesederhanaan dari kesenian ini dilatar belakangi oleh keterbatasan kemampuan keuangan masyarakat yang ingin melakukan kegiatan kreatif

Wayang Thinglung

pergelaran wayang kulit sederhana, dimana iringan musik dan penyanyinya diperagakan oleh satu orang, baik sebagai dalang yang memeragakan adegan cerita wayang, sekaligus mengiringi iringan musik gamelan dengan suara mulut maupun memerankan diri sebagai sinden/niyaga (penyanyi). Awalnya wayang yang digunakan berbahan dari kertas karton, tetapi sekarang ada yang memakai wayang kulit. Tokoh-tokoh ceritanya memakai tokoh-tokoh pada kisah wayang kulit purwa. Dalang wayang thinglung dituntut memiliki keahlian ganda, yaitu keahlian memerankan tokoh wayang dan keahlian menirukan bunyi gamelan pengiring pertunjukan. Pertunjukan wayang ini cukup unik, kadang-kadang bagi orang awam yang belum pernah melihat sebelumnya, melihat dalang yang memainkannya memberi sebutan kelakar seperti orang gila. Kesenian wayang Tinglung dilatar belakangi oleh keterbatasan kemampuan keuangan masyarakat yang ingin menanggap kesenian wayang dengan biaya murah untuk mengisi acara hajatan baik mantu, supitan maupun hajatan syukuran lainnya

Siteran

kesenian musik lagu Jawa, menggunakan alat musik tunggal bersenar bernama siter dimainkan oleh satu orang yang sekaligus berperan sebagai penyanyi. Kadang-kadang pemain siter didampingi oleh seorang sinden (penyanyi putri). Dalam perkembangannya kesenian siter ini dilengkapi dengan alat musik yang lain seperti gender, rebab, dan gong membentuk grup karawitan kecil bernama cokekan. Volume perangkat musik cokekan sekitar seperempat pangkon (seperempat gamelan) bahkan ada yang hanya beberapa bagian saja dari komponen gamelan yang bisa mewakili irama gamelan. Cokekan dimainkan oleh sekitar 4 – 5 orang yang dinyanyikan oleh seorang sinden atau lebih

Selawatan

didendangkan oleh abdi Dalem Mataram secara turun temurun melalui seniman-seniman abdi Dalem Parentah Yogya dan Solo. Salawatan tersebut kemudian dimainkan oleh satu dalang abdi dalem s/d sekitar 1950 karena dalangnya meninggal kesenian ini punah. Sekitar tahun 1980 kes salawatan di munculkan (dipaketkan) lagi oleh grup bernama ”Paguyuban Salawatan Ngako-et Kawula Mataram”, mengadobsi, mendatangi seniman-seniman dulu yang masih bisa diajak bicara, menelusur alatnya apa, dan berlatih sampai sekarang. Saat ini salawatan berkembang di Kotagede, ada kelompok selawatan dari kaum perempuan di kampung Bumen Kelurahan Purbayan Kec Kotagede. Salawatan adalah membacakan pelajaran tentang Islam (keimanan) dengan bertembang/ bernyanyi bahasa Jawa, untuk memudahkan masyarakat menerima pelajaran memaknai arti hidup menurut ajaran Islam melalui bahasa Jawa.

Ketoprak

teater tradisional bertemakan cerita seputar babad/ sejarah dan kehidupan Kraton/Kerajaan, raja, bangsawan dan intrik-intriknya serta romantika kehidupan dan legendanya, melibatkan banyak pemain lebih dari 20 orang tergantung ceritanya dan melibatkan banyak waranggana, diiringi oleh sekitar 24 s/d 26 instrument musik gamelan lengkap slendro-pelog, lengkap dengan dekorasi panggung yang natural.

Di Kotagede ketoprak biasanya diselenggarakan oleh Demang yang karena jabatan kekuasaannya mempunyai tingkat ekonomi yang cukup sehingga mampu membiayai penyelenggaraan ketoprak. Sebagai kawasan bekas kerajaan Mataram masyarakat mempunyai apresiasi dan kebanggaan terhadap tokoh-tokoh pendirinya sehingga wajar apabila kesenian teater yang tumbuh disana bertemakan seputar kehidupan kerajaan.

Pada awalnya cerita Ketoprak lebih banyak menyangkut seputar kehidupan Kraton maupun kaum bangsawan disertai intrik, konflik, percintaan, affair dan legenda kehidupannya. Dalam perjalanannya Ketoprak menceritakan juga tentang legenda kerakyatan. Ketoprak Mataram merupakan salah satu perkumpulan ketoprak pimpinan Ki Tjokrodjio yang disiarkan RRI Studio Yogyakarta secara tetap-berkala sekitar tahun 1960-1968-an.

Ketoprak Tobong berkembang di pedesaan, dikenal karena bangunannya menggunakan yang menggunakan bahan dan konstruksi sederhana. Tobong adalah bangunan kerakyatan non permanen dengan bentang sedang sampai besar, untuk fungsi yang bersifat masal; bahan kerangka, dinding dan atap bangunannya terbuat dari bahan local sederhana (bambu, gedeg, batu bata, ijuk/genteng vlam), dengan system struktur dan ikatan buhul sederhana (ikatan tali ijuk, pasak bamboo). Fungsi Tobong disamping untuk sarana pentas ketoprak juga mempunyai fungsi lain seperti: tempat pembakaran /penyimpanan bata maupun genteng tanah liat, serta penyimpanan dan pengeringan tembakau dll.

Cokekan

kesenian musik gamelan/karawitan dalam skala kecil dengan alat musik gender, rebab, dan gong. Jumlah perangkat musik cokekan sekitar seperempat pangkon (seperempat gamelan) bahkan ada yang hanya beberapa bagian saja dari komponen gamelan yang bisa mewakili irama gamelan. Cokekan dimainkan oleh sekitar 4 – 5 orang yang dinyanyikan oleh seorang sinden atau lebih. Kesenian cokekan dilatar belakangi oleh keterbatasan kemampuan keuangan masyarakat yang menginginkan kesenian musik karawitan (gamelan) dengan biaya murah untuk mengisi acara hajatan baik mantu, supitan maupun hajatan syukuran lainnya.

Ambengan Ageng Kotagede, (Kirab Seni Budaya Ambengan Ageng Kotagede)

dengan promosi wisata kuliner khas Kotagede, dalam bentuk dua gunungan simbol laki-laki dan perempuan (tdk ada namanya), sebagai simbol manusia/alam diciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, dalam ekonomi ada penjual dan pembeli, hidup dan mati, Kirab Seni Budaya Ambengan Ageng. Gunungan merupakan khas kraton.

Gunungan Ageng, Gunungan Garebeg dlsb diselenggarakan oleh keluarga kerajaan dan rajanya masih ada. Pada peninggalan situs kerajaan Mataram seperti Kotagede, raja-rajanya sudah tidak ada, hanya sisa abdi dalem dan masyarakatnya yang masih hidup, masyarakat merasa tidak pantas dengan menggunakan bahasa Gunungan. Gunungan memvisual-kan seorang raja membagikan sedekah pada rakyatnya. Di situs Kotagede berhubung rajanya sudah tidak ada masyarakat membuat sebuah/ sepasang ambengan sebagai wujud dari hasil bumi dan hasil kuliner yang dibuat semacam gunungan dan dikirabkan.

Gunungan tersebut isinya hasil bumi dan budaya kuliner masyarakat yang dinikmati bersama-sama. Kirab seni budaya yang berkembang di masyarakat dengan semua berpakaian tradisional Jawa, visual/ replika prajurit Kraton tempo dulu yang diperagakan oleh masyarakat. Proses ini selalu disempurnakan. Prosesi kirab budaya merupakan murni dalam upaya menggali seni dan budaya saja, tidak ada kaitannya dengan melanggar larangan agama, apakah berbau sirik, berbau musrik, adalah tidak sama sekali.

Ambengan Ageng (berujud bunga?) dibawa masyarakat dengan dikawal oleh abdi dalem Surakarti Hadiningrat dan Ngayogyakarto Hadiningrat, sebagai visualisasi manunggalnya Kerajaan Kraton dengan masyarakat serta manunggalnya Ulama dan Umaro. Dengan memperagakan sebagai prajurit Kraton menunjukkan masyarakat Kotagede sedang mencari proses jati dirinya, prajurit Kotagede itu seperti apa? Pertama kali diungkapkan dengan kegiatan menarik untuk menumbuhkan rasa rindu masyarakat dengan budayanya sendiri yang sudah sekian ratus hilang, serta sebagai penghargaan pada budaya Kraton.

Acara ini dibantu oleh pak Lurah Sigit dari Imogiri dengan bergodo perjurit dari Giri Tamtomo.

Dihalaman Masjid diadakan acara serah terima ambengan disampaikan ke pengageng Kraton yang bertugas di situs Kotagede (sebagai juru kunci makam), salah satunya dari Kraton Yogya: Kanjeng Raden Tumenggung Hastana Nagoro, kemudian dari beliau diberikan kepada pak Saleh (lurah Jagalan/ luarahnya masyarakat), kemudian oleh pak Lurah diserahkan pada Rois Penghulu Masjid Mataram, kemudian berdoa (dipimpin Rois), kemudian dimakan bersama. Selain kirab ambengan juga diiringi dengan ’Jodhang’ (rumah kecil) terdiri dari Jodhang Kraton Sala dan Jodhang Kraton Ngayogyakarta.

Jodhang (rumah kecil) kemudian dibawa Pengageng Kraton Yogyadan Sala bersama iring-iringan masuk kedalam halaman Masjid, melalui prosesi upacara Jodhang tersebut diberikan Pengageng Kraton kepada Abdi Dalem Yogya dan Sala, sebagai simbol suatu perintah pengageng Kraton kepada Abdi Dalemnya: ’Hai Abdi Dalem, iki ana Jodhang (tempat/wadah kosong tidak ada isinya). Di serambi Masjid Jodhang tersebut dimasuki siwur, dengan membaca salawat pra abdi Dalem berjalan ke sendang.

Jodhang juga merupakan miniatur masjid Mataram yang diberi logo Solo dan Yogya. Karena Kerajaan Mataram merupakan cikal bakal Yogya dan Solo, maka jumlah Jodhang ada dua buah, yang satu merupakan miniatur masjid Agung Mataram Kuno Kotagede dan lainnya merupakan miniatur masjid Agung Kraton Solo.

Ada 2 buah jodhang dan 3 siwur. Siwur hanyal simbol contoh alat mengambil air. Dari pengageng Abdi Dalem diberikan pada Lurah (Jagalan/ lurah masyarakat sekarang), kmd dari lurah diserahkan kepada Pengageng Yayasan Masjid Besar Mataram, siwur diberikan sebagai tanda untuk memulai nawu Jagang. Yang ini (satu?) masuk ke masjid & yang dua masuk ke Sendang Selirang. Iring-iringan berjalan ke Sendang dengan membaca salawat. Sampai di sendang, Abdi Dalem mengambil contoh (mengambil air secara simbolik) air sendang dan dimasukkan kedalam kendi.

Kendi (dari tanah liat) dibawa oleh Abdi Dalem dan siwur dimasukkan kedalam Jodhang yang masih dipikul. Abdi Dalem berjalan kembali untuk melaporkan pada Pengagengnya (komandannya) ”kawuningan bapak/ romo/ kanjeng bukti kalau air dalam kendi ini sudah diambil dari sendang kakung dan sendang putri”. Air yang didalam kendi tersebut tidak untuk jimat tetapi langsung dibuang. Kemudian mereka istirahat (setelah jam 09.00 s/d 11.00 melakukan prosesi), kemudian istirahat 1 jam, makan snack dan minum dan solat dhuhur (bagi yg tidak sholat diberi kesempatan istirahat), sementara ratusan masyarakat (bapak-2, kaum muda s/d anak-anak) menunggu di sendang kakung dan putri.

Begitu sholat selesai dibunyikan sempritan sebagai tanda prosesi pengurasan dimulai. Dengan serentak masyarakat masuk kedalam kolam untuk membersihkan kolam bersama-sama. Malam harinya diadakan syukuran, ada laporan kegiatan dari panitia pada donatur, pada pengageng dua-duanya (Yk-Sl). Malam harinya dilakukan pentas wayang. (pengageng Kraton yang bertugas sbg juru kunci).