Saturday, January 9, 2010
Jenang Suran/ Bubur Suran
Sendang Salirang
Selirang bisa diartikan pasangan sisir pisang bagian atas dan bawah (satu sisir hanya bagian atas atau bawah saja, setangkep adalah pasangan kanan kiri)
Atau dapat diartikan Sendang Selira (badan), untuk memandikan/ membersihkan badan (bersuci). Pada waktu itu selain untuk mandi & cuci, juga utk mengambil air wudhu (mandi dulu, baru masuk masjid).
Nyewu dino
Mendak Pisan/ Nyetahun
Nyatus Dino
Patang puluh dino
Mitoni
Selapanan
Kroncong, musik
Srandul
Wayang Thinglung
Siteran
Selawatan
Ketoprak
Di Kotagede ketoprak biasanya diselenggarakan oleh Demang yang karena jabatan kekuasaannya mempunyai tingkat ekonomi yang cukup sehingga mampu membiayai penyelenggaraan ketoprak. Sebagai kawasan bekas kerajaan Mataram masyarakat mempunyai apresiasi dan kebanggaan terhadap tokoh-tokoh pendirinya sehingga wajar apabila kesenian teater yang tumbuh disana bertemakan seputar kehidupan kerajaan.
Pada awalnya cerita Ketoprak lebih banyak menyangkut seputar kehidupan Kraton maupun kaum bangsawan disertai intrik, konflik, percintaan, affair dan legenda kehidupannya. Dalam perjalanannya Ketoprak menceritakan juga tentang legenda kerakyatan. Ketoprak Mataram merupakan salah satu perkumpulan ketoprak pimpinan Ki Tjokrodjio yang disiarkan RRI Studio Yogyakarta secara tetap-berkala sekitar tahun 1960-1968-an.
Ketoprak Tobong berkembang di pedesaan, dikenal karena bangunannya menggunakan yang menggunakan bahan dan konstruksi sederhana. Tobong adalah bangunan kerakyatan non permanen dengan bentang sedang sampai besar, untuk fungsi yang bersifat masal; bahan kerangka, dinding dan atap bangunannya terbuat dari bahan local sederhana (bambu, gedeg, batu bata, ijuk/genteng vlam), dengan system struktur dan ikatan buhul sederhana (ikatan tali ijuk, pasak bamboo). Fungsi Tobong disamping untuk sarana pentas ketoprak juga mempunyai fungsi lain seperti: tempat pembakaran /penyimpanan bata maupun genteng tanah liat, serta penyimpanan dan pengeringan tembakau dll.
Cokekan
kesenian musik gamelan/karawitan dalam skala kecil dengan alat musik gender, rebab, dan gong. Jumlah perangkat musik cokekan sekitar seperempat pangkon (seperempat gamelan) bahkan ada yang hanya beberapa bagian saja dari komponen gamelan yang bisa mewakili irama gamelan. Cokekan dimainkan oleh sekitar 4 – 5 orang yang dinyanyikan oleh seorang sinden atau lebih. Kesenian cokekan dilatar belakangi oleh keterbatasan kemampuan keuangan masyarakat yang menginginkan kesenian musik karawitan (gamelan) dengan biaya murah untuk mengisi acara hajatan baik mantu, supitan maupun hajatan syukuran lainnya.
Ambengan Ageng Kotagede, (Kirab Seni Budaya Ambengan Ageng Kotagede)
dengan promosi wisata kuliner khas Kotagede, dalam bentuk dua gunungan simbol laki-laki dan perempuan (tdk ada namanya), sebagai simbol manusia/alam diciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, dalam ekonomi ada penjual dan pembeli, hidup dan mati, Kirab Seni Budaya Ambengan Ageng. Gunungan merupakan khas kraton.
Gunungan Ageng, Gunungan Garebeg dlsb diselenggarakan oleh keluarga kerajaan dan rajanya masih ada. Pada peninggalan situs kerajaan Mataram seperti Kotagede, raja-rajanya sudah tidak ada, hanya sisa abdi dalem dan masyarakatnya yang masih hidup, masyarakat merasa tidak pantas dengan menggunakan bahasa Gunungan. Gunungan memvisual-kan seorang raja membagikan sedekah pada rakyatnya. Di situs Kotagede berhubung rajanya sudah tidak ada masyarakat membuat sebuah/ sepasang ambengan sebagai wujud dari hasil bumi dan hasil kuliner yang dibuat semacam gunungan dan dikirabkan.
Gunungan tersebut isinya hasil bumi dan budaya kuliner masyarakat yang dinikmati bersama-sama. Kirab seni budaya yang berkembang di masyarakat dengan semua berpakaian tradisional Jawa, visual/ replika prajurit Kraton tempo dulu yang diperagakan oleh masyarakat. Proses ini selalu disempurnakan. Prosesi kirab budaya merupakan murni dalam upaya menggali seni dan budaya saja, tidak ada kaitannya dengan melanggar larangan agama, apakah berbau sirik, berbau musrik, adalah tidak sama sekali.
Ambengan Ageng (berujud bunga?) dibawa masyarakat dengan dikawal oleh abdi dalem Surakarti Hadiningrat dan Ngayogyakarto Hadiningrat, sebagai visualisasi manunggalnya Kerajaan Kraton dengan masyarakat serta manunggalnya Ulama dan Umaro. Dengan memperagakan sebagai prajurit Kraton menunjukkan masyarakat Kotagede sedang mencari proses jati dirinya, prajurit Kotagede itu seperti apa? Pertama kali diungkapkan dengan kegiatan menarik untuk menumbuhkan rasa rindu masyarakat dengan budayanya sendiri yang sudah sekian ratus hilang, serta sebagai penghargaan pada budaya Kraton.
Acara ini dibantu oleh pak Lurah Sigit dari Imogiri dengan bergodo perjurit dari Giri Tamtomo.
Dihalaman Masjid diadakan acara serah terima ambengan disampaikan ke pengageng Kraton yang bertugas di situs Kotagede (sebagai juru kunci makam), salah satunya dari Kraton Yogya: Kanjeng Raden Tumenggung Hastana Nagoro, kemudian dari beliau diberikan kepada pak Saleh (lurah Jagalan/ luarahnya masyarakat), kemudian oleh pak Lurah diserahkan pada Rois Penghulu Masjid Mataram, kemudian berdoa (dipimpin Rois), kemudian dimakan bersama. Selain kirab ambengan juga diiringi dengan ’Jodhang’ (rumah kecil) terdiri dari Jodhang Kraton Sala dan Jodhang Kraton Ngayogyakarta.
Jodhang (rumah kecil) kemudian dibawa Pengageng Kraton Yogyadan Sala bersama iring-iringan masuk kedalam halaman Masjid, melalui prosesi upacara Jodhang tersebut diberikan Pengageng Kraton kepada Abdi Dalem Yogya dan Sala, sebagai simbol suatu perintah pengageng Kraton kepada Abdi Dalemnya: ’Hai Abdi Dalem, iki ana Jodhang (tempat/wadah kosong tidak ada isinya). Di serambi Masjid Jodhang tersebut dimasuki siwur, dengan membaca salawat pra abdi Dalem berjalan ke sendang.
Jodhang juga merupakan miniatur masjid Mataram yang diberi logo Solo dan Yogya. Karena Kerajaan Mataram merupakan cikal bakal Yogya dan Solo, maka jumlah Jodhang ada dua buah, yang satu merupakan miniatur masjid Agung Mataram Kuno Kotagede dan lainnya merupakan miniatur masjid Agung Kraton Solo.
Ada 2 buah jodhang dan 3 siwur. Siwur hanyal simbol contoh alat mengambil air. Dari pengageng Abdi Dalem diberikan pada Lurah (Jagalan/ lurah masyarakat sekarang), kmd dari lurah diserahkan kepada Pengageng Yayasan Masjid Besar Mataram, siwur diberikan sebagai tanda untuk memulai nawu Jagang. Yang ini (satu?) masuk ke masjid & yang dua masuk ke Sendang Selirang. Iring-iringan berjalan ke Sendang dengan membaca salawat. Sampai di sendang, Abdi Dalem mengambil contoh (mengambil air secara simbolik) air sendang dan dimasukkan kedalam kendi.
Kendi (dari tanah liat) dibawa oleh Abdi Dalem dan siwur dimasukkan kedalam Jodhang yang masih dipikul. Abdi Dalem berjalan kembali untuk melaporkan pada Pengagengnya (komandannya) ”kawuningan bapak/ romo/ kanjeng bukti kalau air dalam kendi ini sudah diambil dari sendang kakung dan sendang putri”. Air yang didalam kendi tersebut tidak untuk jimat tetapi langsung dibuang. Kemudian mereka istirahat (setelah jam 09.00 s/d 11.00 melakukan prosesi), kemudian istirahat 1 jam, makan snack dan minum dan solat dhuhur (bagi yg tidak sholat diberi kesempatan istirahat), sementara ratusan masyarakat (bapak-2, kaum muda s/d anak-anak) menunggu di sendang kakung dan putri.
Begitu sholat selesai dibunyikan sempritan sebagai tanda prosesi pengurasan dimulai. Dengan serentak masyarakat masuk kedalam kolam untuk membersihkan kolam bersama-sama. Malam harinya diadakan syukuran, ada laporan kegiatan dari panitia pada donatur, pada pengageng dua-duanya (Yk-Sl). Malam harinya dilakukan pentas wayang. (pengageng Kraton yang bertugas sbg juru kunci).